1.
Definisi Motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai
kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam
diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu
(motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan
banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam
konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang
motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan
pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya
pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin
Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu
dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:
(1) durasi kegiatan;
(2) frekuensi kegiatan;
(3) persistensi
pada kegiatan;
(4)
ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan;
(5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan;
(6) tingkat
aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan;
(7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out
put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan;
(8) arah
sikap terhadap sasaran kegiatan.
2.
Teori Motivasi
Terdapat beberapa teori motivasi,
yaitu : Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan), Teori McClelland (Teori
Kebutuhan Berprestasi), Teori Clyton Alderfer (Teori ERG), Teori Herzberg (Teori Dua Faktor), Teori
Keadilan, Teori penetapan tujuan, Teori Victor H. Vroom (teori Harapan), Teori
Penguatan dan Modifikasi Perilaku, dan Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Namun teori yang akan kita bahas adalah
teori drive reinforcement, teori harapan, teori tujuan, dan teori hierarki
kebutuhan Abraham Maslow.
a.
Teori Drive Reinforcement
Teori ini berhubungan dengan teori belajar
operant conditioning dari Skinner. Teori ini mempunyai dua aturan pokok :
aturan pokok yang berhubungan denga pemerolehan jawaban-jawaban yang benar, dan
aturan pokok lainnya yang berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang
salah.
Siegel dan Lane (1982) mengutip Jablonske dan
de Vries, memberi saran bagaimana manajement dapat meningkatkan motivasi kerja tenaga
kerja, yaitu dengan :
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan.
2. Mengkomunikasikan dengan jelas prilaku ini
kepada tenaga kerja.
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa
yang akan diterima tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi.
4. Memberi ganjaran hanya jika jawaban yang
benar yang dilaksanakan.
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang
diinginkan pada saat yang paling memungkinkan, yang terdekat dengan kejadian.
Contoh Kasus :
Promosi
seorang karyawan tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan.
b.
Teori Harapan
Teori dari
Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan mengapa
seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat
melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan.
Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga
komponen, yaitu:
• Ekspektasi (harapan)
keberhasilan pada suatu tugas.
•
Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil
dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome
tertentu).
• Valensi,
yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau negatif. Motivasi
tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapan. Motivasi rendah
jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan.
Contoh Kasus :
Seorang
karyawan pada bagian penjualan berupaya meraih target penjualan tertentu untuk
mendapatkan bonus berupa liburan ke luar negeri. Dalam teori harapan, karyawan
tersebut berusaha mendapatkan kesempatan untuk memenuhi target karena ingin
pergi ke luar negeri.
c.
Teori Tujuan
Teori
ini menyatakan bahwa mencapai tujuan adalah sebuah motivator. Hampir setiap
orang menyukai kepuasan kerja karena mencapai sebuah tujuan spesifik. Teori ini
mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan
pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi
jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan
goal setting (penetapan tujuan). Penetapan
tujuan juga dapat ditemukan dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan
sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran-sasaran pribadi memiliki nilai
kepentingan pribadi (valence) yang berbeda-beda. Proses penetapan tujuan (goal
setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri, diwajibkan oleh
organisasi sebagai satu kebijakan peusahaan.
Contoh Kasus :
Ketika
seorang tenaga kerja memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada
saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun
waktu tertentu dapat terjadi bahwa keterikatan terhadap usaha mencapai tujuan
tersebut tidak terlalu besar.
d.
Teori Hierarki Abraham Maslow
Dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada
intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau
hierarki kebutuhan, yaitu:
(1)
kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus,
istirahat dan sex
(2)
kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi
juga mental, psikologikal dan intelektual;
(3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
(4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai
simbol-simbol status
(5)
aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi
seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah
menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama
(fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara
lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang
lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara
membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis
dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena
manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu
tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual
dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin
banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin
mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional,
teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami
“koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep
“hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat
diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya
ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada
pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan
kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat
pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan
diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya. Berangkat
dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin
mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi
juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan
berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil
memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati
rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih
tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan
bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
1) Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi
sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
2) Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi
pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
3) Berbagai
kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu
kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan
kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan
ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan
mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada
kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Contoh Kasus
:
Apabila seorang pegawai kebutuhannya tidak
terpenuhi maka pegawai tersebut akan menunjukkan perilaku kecewa.
CONTOH
KASUS
Pak
Bambang adalah seorang pensiunan direktur di suatu perusahaan yang bergerak
dibidang properti, sudah dua tahun ia pensiun dari perusahaan tersebut dan
posisinya sebagai direktur, kini digantikan oleh anaknya Andrew. Semenjak ia
pensiun, semua urusan perusahaan ditangani oleh Andrew tanpa kecuali, ia tidak
ingin ayahnya terbebani pikiran karena sudah pensiun. Walau dirinya sudah
pensiun Pak Bambang ingin sekali berpartisipasi mengembangkan perusahaan, namun
anaknya melarang karena merasa ayahnya itu sudah lebih baik dirumah saja. Dalam
kehidupan sehari-harinya Pak Bambang pun menjadi uring-uringan.
ANALISIS
Cerita pada kasus di atas motivasi kerja Pak
Bambang dalam masa pensiunnya masih besar. Pak Bambang merasa kebutuhan akan
aktualisasi dirinya tidak terpenuhi, karena walau ia sudah pensiun, ia ingin
membuktikan bahwa ia masih berkompeten dengan pengalaman-pengalamannya demi
perkembangan perusahaannya. Kasus ini cocok dengan teori actualization self
hierarki Abraham Maslow.
SUMBER :
1. Basuki, Heru. 2008. Psikologi Umum. Jakarta : Universitas Gunadarma
5.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian
Sehat. Yogyakarta : Kanisius